Perang dagang AS-Tiongkok yang terus memanas telah menciptakan gelombang ketidakpastian ekonomi global. Sebagai negara dengan ekonomi terbuka, Indonesia tidak bisa sepenuhnya menghindar dari imbasnya: fluktuasi harga komoditas, gangguan rantai pasokan, hingga tekanan pada neraca perdagangan. Namun, di tengah turbulensi ini, Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang telah terbukti tangguh menghadapi tekanan ekonomi eksternal, salah satunya Rusia. Tulisan ini bukanlah bentuk pernyataan posisi maupun sikap politik, melainkan pandangan pribadi penulis untuk mengambil pelajaran dari negara Beruang Merah tersebut, setelah berkesempatan melihat dan merasakan langsung kondisi Rusia kala dikucilkan secara ekonomi oleh negara-negara Barat.

Sebelum bercerita lebih jauh tentang Rusia, mari kita mengingat kembali bahwa sejak aneksasi Krimea pada 2014, Rusia telah menghadapi sanksi ekonomi bertubi-tubi dari AS dan sekutunya. Mulai dari embargo perdagangan, pembekuan aset oligarki, hingga larangan bepergian bagi pejabat. Namun, bagi Rusia, ini bukanlah hal baru. Sejarah panjang mereka sebagai negara yang bertahan di tengah perang, revolusi, dan embargo Stalin era Perang Dingin, telah mengajarkan satu hal: bertahan hidup di tengah tekanan adalah bagian dari DNA bangsa ini.

Pada tahun 2014-2015, rak-rak keju Prancis dan anggur Italia tiba-tiba kosong di supermarket Rusia. Produk-produk mewah Eropa lenyap. Keju dari Siberia dan susu dari peternakan lokal pun mulai mengisi rak-rak itu. Pemerintah Rusia menggalakkan import substitution, mengganti barang impor dengan produk dalam negeri. Petani dan pengusaha kecil bangkit. Keju “Rossiysky” menggantikan Parmesan, sementara vodka tetap jadi andalan. Pada 24 Februari 2022, sehari setelah Hari Pembela Tanah Air, hari di mana Rusia mengenang jasa para pahlawannya, invasi ke Ukraina dimulai. Sanksi ekonomi menghantam lebih keras dari sebelumnya: bank sentral Rusia dibekukan, SWIFT diputus, perusahaan global seperti McDonald’s, KFC dan IKEA hengkang. Nilai rubel sempat terjun bebas, tapi tim ekonomi Rusia bergerak cepat. Mereka mengaitkan rubel ke emas dan gas, memaksa Eropa membayar gas dalam rubel. Rusia mengubah senjata sanksi Barat menjadi bumerang: harga energi melonjak, sementara Eropa kebingungan mencari alternatif gas Rusia.

Di tingkat akar rumput, rakyat Rusia menghadapi ini dengan sikap khas: “Kami sudah terbiasa dengan kesusahan”. Generasi tua yang hidup di era Soviet hanya mengangkat bahu: “Dulu kami antre berjam-jam untuk sepotong roti, ini bukan apa-apa.” Generasi muda yang melek teknologi beralih ke VPN untuk mengakses Netflix yang diblokir, atau membeli iPhone melalui “pasar abu-abu” di Kazakhstan. Bahkan di tengah isolasi, kreativitas muncul: restoran cepat saji lokal seperti “Vkusno i Tochka” menggantikan McDonald’s. Menunya mirip, tapi dengan saus yang “lebih Slavia”.

Satu hal yang dilupakan Barat: Rusia bukanlah negara biasa. Mereka punya sumber daya alam yang begitu besar, dari gas Arctic hingga gandum Siberia, yang membuat mereka sulit “dipelaparkan”. Gazprom, raksasa energi negara, menjadi tameng sekaligus senjata. Sementara Tiongkok dan India, yang tak ikut sanksi, menjadi mitra dagang baru. Rusia menjual minyak ke Asia dengan diskon, tapi volume yang besar tetap mengisi kas negara.

Alih-alih menyerah, Rusia memilih menari dengan caranya sendiri. Mereka mengubah embargo menjadi ajang pembuktian kemandirian. Di sektor pertanian, yang dulu bergantung pada impor keju Prancis dan apel Polandia, kini ladang gandum mereka membentang luas. Petani-petani Siberia, dengan tekad sekeras es di Danau Baikal, berhasil menjadikan Rusia eksportir gandum terbesar dunia. Pabrik-pabrik di Ural dan Siberia didorong memproduksi segala sesuatu, dari mesin traktor hingga smartphone, yang sebelumnya diimpor dari Eropa. Ekonomi Rusia tidak kolaps. Malah, negara ini menunjukkan ketahanan yang mengesankan. Jalur pipa minyak dan gas tidak lagi hanya mengalir ke Eropa, tetapi juga menelusuri Jalur Sutra Baru menuju Tiongkok. Transaksi minyak dalam yuan dan rubel menggantikan dolar AS. Di St. Petersburg, pedagang rempah India dan pengusaha minyak Arab menjadi pemandangan baru di pelabuhan yang dulu didominasi kapal-kapal Eropa.

Kembali ke Nusantara, di mana hujan tropis mengairi sawah dan hutan, kisah ketangguhan Rusia ini tidak hanya sekadar dongeng yang dilihat dan dinikmati hasilnya masa kini. Apabila Rusia punya gandum dan gas, Indonesia punya sumber daya tak kalah kaya, dari nikel di perut bumi Sulawesi hingga minyak sawit yang menghijaukan Sumatra. Namun, ketangguhan ekonomi sesungguhnya bukan terletak pada apa yang kita miliki, melainkan pada kemampuan mengubah sumber daya tersebut menjadi produk bernilai tinggi. Selama ini, Indonesia kerap terjebak dalam pola “nelayan yang menjual ikan mentah”, mengekspor bahan baku tanpa sentuhan pengolahan lebih lanjut. Padahal, nilai tambah tidak lahir dari menjual nikel mentah atau minyak sawit kasar, melainkan dari industri pengolahan yang mengubahnya menjadi baterai lithium, produk kosmetik, biodiesel, atau barang jadi lainnya. Dengan mengolah sumber daya secara mandiri, Indonesia tidak hanya dapat memperkuat kemandirian ekonomi, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja berbasis teknologi, meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan devisa, serta mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga komoditas global. Tanpa langkah strategis ini, negeri ini akan tetap menjadi penonton di pasar global, sementara negara lain mengeruk keuntungan dari hasil bumi yang seharusnya bisa menjadi pilar kemakmuran rakyatnya sendiri.

Di sisi lain, di tengah perseteruan dagang Tiongkok-AS yang memicu proteksionisme global, Indonesia tidak bisa sekadar menjadi penonton atau berharap pada pasar tradisional yang semakin sempit. Meski perang tarif pasti berdampak pada ekspor dan stabilitas ekonomi, solusi jangka panjang bukanlah dengan terus meratapi hubungan yang retak, melainkan membangun game-plan baru: membidik pasar non-tradisional yang selama ini terabaikan. Di Dubai, pelaku usaha Indonesia tidak hanya menjual produk halal, tetapi menjadikan sertifikasi halal sebagai “paspor” untuk menembus pasar Timur Tengah dan Afrika Utara, wilayah dengan permintaan tinggi namun minim pesaing. Di Afrika Selatan, kopi Aceh dan batik Yogyakarta tidak lagi diposisikan sebagai komoditas murah, melainkan simbol gaya hidup berkelas yang bersaing dengan merek global. Sementara di Brasil, diplomasi kopi Indonesia dirancang bukan hanya untuk ekspor, tetapi juga menjalin aliansi dengan produsen lokal untuk membentuk blok dagang alternatif di Amerika Latin. Pendekatan ini bukan sekadar diversifikasi, melainkan strategi geopolitik yang mengubah Indonesia dari korban perang dagang menjadi aktor yang membentuk jalur ekonomi baru. Meski guncangan dari AS dan Tiongkok tak terhindarkan, fokus pada pasar-pasar “underdog” ini justru mengurangi ketergantungan sekaligus membuka ruang untuk menjadi price maker, bukan price taker. Daripada sibuk memperbaiki jaring yang robek, lebih baik menenun jaring yang lebih luas dan kuat di lautan yang belum dipetakan, layaknya Rusia yang membuka jalur pipa baru dari Eropa menuju China.

Perang dagang ibarat badai tropis: merobek tirai ketergantungan, tetapi sekaligus membuka lahan untuk menumbuhkan kemandirian. Seperti Rusia yang dipaksa berinovasi akibat sanksi, Indonesia pun harus menyadari bahwa ketergantungan pada sistem pembayaran Barat, seperti SWIFT yang rentan blokade politik, adalah titik lemah yang bisa berubah jadi bom waktu. Di tengah ancaman fragmentasi ekonomi global, Bank Indonesia tidak hanya berbisik, tetapi mulai melangkah. Skema transaksi langsung Local Currency Settlement (LCS) dengan Malaysia menggunakan rupiah dan ringgit adalah contoh nyata memotong dominasi dolar AS. Sementara di tingkat akar rumput, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) bukan sekadar alat bayar digital, melainkan infrastruktur kedaulatan finansial yang menyiapkan “jalan tol” transaksi domestik dan regional tanpa intervensi pihak asing. Jika SWIFT suatu hari dibajak kepentingan geopolitik, Indonesia sudah punya tameng: jaringan pembayaran independen yang mengurangi risiko pembekuan transaksi, sekaligus memastikan perdagangan dengan negara mitra, seperti Uni Emirat Arab atau Thailand, tetap mengalir lancar. Ini bukan sekadar solusi teknis, melainkan senjata ekonomi yang memberi Indonesia dua keunggulan: pertama, kebebasan dari tekanan mata uang asing; kedua, posisi tawar lebih kuat di kancah global karena tidak lagi terjebak dalam permainan “perang proxy” AS-Tiongkok. Dengan sistem pembayaran mandiri, badai perang dagang tak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan momentum untuk membangun ekosistem finansial yang tahan guncangan dan berdaulat.

Namun, tarian ini tak selalu mulus. Proteksi industri lokal bisa membuat harga barang melambung, sementara mencari mitra dagang baru ibarat membuka jalur di hutan belantara, butuh waktu bertahun-tahun, negoisasi alot, dan keberanian mengambil risiko. Misalnya, ketika Eropa mengurangi impor minyak sawit, Indonesia harus mencari pasar baru di Afrika atau Timur Tengah. Prosesnya tak instan, harus ada uji coba, adaptasi, dan terkadang gagal sebelum akhirnya menemukan formula yang cocok. Di sinilah kearifan lokal berperan. Gotong royong antara pemerintah, BUMN, dan UMKM bisa menjadi senjata rahasia. BUMN seperti Pertamina dan PLN bisa menjadi “Gazprom-nya Indonesia”, sementara UMKM adalah pasukan gerilya yang mengisi celah pasar.

Rusia dan Indonesia mungkin tak akan pernah sama. Moskow berdansa di atas salju dengan langkah tentara yang tegas, sementara Jakarta menari di bawah hujan tropis dengan gemulai. Namun, keduanya punya mantra yang sama: kemandirian. Indonesia tak perlu menjadi “Rusia Tropis”, karena kita punya filsafat sendiri: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Nikel dan sawit adalah “bumi” kita; hilirisasi dan diplomasi adalah cara kita menjunjung “langit” kedaulatan ekonomi. Seperti Rusia yang menemukan kekuatan di saat terdesak, Indonesia bisa menjadi penari tak terduga di panggung perang dagang: lincah, lentur, dan siap mengubah badai jadi berkah. Pelajaran terakhir dari Moskow? Seperti kata pepatah Rusia: “В тихом омуте черти водятся” (Dalam air tenang, bahaya mengintai). Indonesia harus tetap waspada, tetapi juga gesit memanfaatkan celah di tengah konflik global.

Irma Tsuraya Choirinnida